Walaupun kisah asal-usul reog pada umumnya tidak menyinggung soal warok,
termasuk dalam kisah Kelana Sewandana yang dipilih sebagai dasar
penyusunan format pementasan, tim perumus menetapkan keberadaan peran
warok dalam pertunjukan reog. Memang benar, masyarakat Ponorogo
mengenali adanya kaitan antara reog dan warok. Namun, kaitan tersebut
umumnya dipahami sebagai hubungan antara kesenian dan penggemar fanatik
atau patronnya. Lain tidak.
Dimasukkannya warok ke dalam struktur
pertunjukan reog bisa dipahami sebagai upaya pemerintah setempat
menampilkan warok sebagai ciri lain masyarakat setempat. Tapi, dalam hal
ini pun terjadi proses seleksi mengenai citra warok seperti apa yang
hendak ditampilkan.
Ada perbedaan signifikan antara persepsi masyarakat luas mengenai warok dan gambaran yang ditampilkan pemerintah kabupaten.
Bagi
orang kebanyakan di Ponorogo, warok merupakan istilah kategoris yang
disandangkan pada orang dengan kualifikasi tertentu, terutama
kualifikasi fisik berupa kesaktian atau kekebalan. Mereka mengenakan
sebutan warok pada seseorang dengan mempertimbangkan: Apakah dia pernah
membunuh seseorang? Apakah dia mempan dibacok? dan sebagainya. Karena
warok adalah gelar yang disandangkan masyarakat luas pada seseorang,
maka pada dasarnya status kewarokan tidak bisa diklaim oleh diri
sendiri, tak satu pun orang di Ponorogo yang menyatakan diri sebagai
warok.
Gambaran yang ada di kalangan warga setempat ini
berbeda dengan gambaran warok yang dipromosikan pemerintah setempat,
yakni orang yang mumpuni dalam olah batin – tidak adigang, adigung,
adiguna. Gambaran semcam ini tentu jauh berbeda dengan angan-angan
masyarakat luas mengenai ciri-ciri fisik warok.
Mengikuti jalan
pikir pemerintah setempat, besar kemungkinan seorang warok tidak
berpawakan tinggi, besar, berwajah seram dengan kumis melintang seperti
ditengarai orang Ponorogo pada umumnya; melainkan orang yang kurus
ceking lantaran sering berpuasa menjauhkan diri dari hawa nafsu duniawi.
Anehnya, buku Pedoman Dasar terbitan pemerintah tetap menggunakan
gambaran warok versi masyarakat luas sebagai acuan dasar penuangan
artistik, sebagaimana tampak dalam hal kostum (telanjang dada, atau
kemeja terbuka), rias (kumis dan jenggot palsu, bulu dada, olesan
pemerah di pipi, penebalan alis), maupun dalam tata gerak (adegan
perkelahian dan latihan bela diri).
Kiranya
tidak sukar dipahami bahwa ditetapkannya warok sebagai salah satu jenis
peran yang muncul dalam pertunjukan Reyog Ponorogo mengundang berbagai
tentangan. Mereka yang mempersoalkan kemunculan warok sebagai salah satu
peran pertunjukan reyog kebanyakan mengacu pada kisah asal-usul Reyog
Ponorogo dan menegaskan bahwa tak ada satu pun kisah-kisah tersebut yang
menyebut warok sebagai salah satu tokoh sejak mula-jadi. Memang benar,
dalam masyarakat Ponorogo beredar kisah-kisah heroik tentang kehebatan
beberapa orang warok di masa lalu, bahkan salah satu kisah yang sangat
populer sering diceritakan kembali dalam kesenian ketoprak. Sebagai
contoh, tokoh warok legendaris yang bernama
Warok Suramenggala
diyakini sebagai salah satu anak Suryangalam, yang sepeninggal ayahnya
bermusuhan dengan kakak kandungnya, yaitu Warok Gunaseca. Namun
kebanyakan orang Ponorogo berpendapat bahwa sumber dan periode yang
dirujuk oleh kisah asal-usul reyog Ponorogo terpisah dari cerita dan
periode kemunculan fenomena warok. Mereka menganggap cerita tentang
Suramenggala berbeda satu generasi dengan cerita asal-usul reyog versi
Batara Katong, sehingga penggabungan kedua cerita itu dengan menampilkan
peran warok dirasa mengacaukan orientasi waktu yang dilukiskan
pertunjukan reyog Ponorogo. Lagi pula, pada umumnya pertunjukan reyog di
desa-desa memang tidak menampilkan warok sebagai salah satu peran
pertunjukan.
siapa itu WAROK
Penulis : Unknown on Rabu, 23 Januari 2013 | 08.59
ARTIKEL LAIN dolapdolop:
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Label:
legenda
Langganan:
Posting Komentar (Atom)